Rabu, 08 Juli 2009

FLEKSIBILITAS PASAR KERJA DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA

PENDAHULUAN
Dewasa ini sistem pasar kerja di banyak negara mengalami perubahan sebagai akibat perubahan orientasi ekonomi global. Pasar kerja kini didorong ke arah bentuk yang lebih fleksibel (flexible labour market) bersamaan dengan menguatnya liberalisasi perekonomian dunia. Pasar kerja yang fleksibel – berikut sistem produksi yang fleksibel (flexible production) – diyakini oleh para pendukungnya dapat lebih merangsang pertumbuhan ekonomi serta memperluas pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat di tengah iklim kompetisi ekonomi global yang semakin ketat.
Sejalan dengan perubahan tersebut, peran negara dalam mengatur bekerjanya pasar kerja serta bentuk tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya pun mengalami perubahan. Peran dan tanggung jawab negara tersebut cenderung menyurut. Hal ini terlihat dari menurunnya alokasi anggaran untuk tanggung jawab negara yang berkaitan dengan kesejahteraan warganya (lihat Lindert, 2004). Demikian pula regulasi negara yang mengatur bekerjanya pasar tersebut berkurang. Sebaliknya, bekerjanya pasar kerja dan penyelenggaran kesejahteraan tersebut lebih banyak diserahkan kepada mekanisme pasar itu sendiri. Dinamikanya diserahkan langsung kepada hubungan antara pemodal dengan para pekerja atau pencari kerja. Melalui praktek hubungan-hubungan kerja di tingkat perusahaan, fleksibilitas pasar kerja diasumsikan dapat menghasilkan efek-efek positif bagi pertumbuhan ekonomi maupun keadilan sosial. Oleh sebab itu fleksibilitas kini menjadi modus utama operasi modal di banyak sektor.
Dalam kenyataan, perkembangan fleksibilitas pasar kerja menghasilkan efek yang beragam. Di banyak negara, khususnya negara berkembang, fleksibilitas justru menciptakan masalah yang tidak kecil baik bagi kelompok pekerja maupun kelompok masyarakat miskin (Gallie & Vogler, 1995; Vecernik, 2001; Caraway: 2007, Beleva & Tsanov, 2001). Alih-alih berdampak positif, pasar kerja yang fleksibel justru memiliki kerentanan dalam menciptakan degradasi kondisi kerja, ketidakpastian pendapatan dan kesejahteran serta melemahnya posisi tawar dari pekerja. Pasar kerja fleksibel menghasilkan pembagian kesempatan kerja dengan mengorbankan kualitas kesempatan kerja itu sendiri. Tingkat kerawanan yang lebih tinggi terjadi dalam pasar kerja yang memiliki suplai angkatan kerja tidak terampil yang berlebih (over supply). Di dalam konteks ini, menyurutnya peran negara dari sejumlah peran pelindungan sosial ekonominya justru membuat efek negatif dari fleksibilitas pasar kerja semakin menjadi lebih besar.
Situasi dan dampak tersebut terjadi pula di dalam sistem pasar kerja di Indonesia yang sedang berubah ini. Upaya fleksibilisasi pasar kerja secara keras dilakukan baik oleh pemerintah maupun pengusaha melalui kebijakan dan praktek ketenagakerjaan. Langkah-langkah ini ternyata menghasilkan berbagai dampak negatif di kalangan pekerja hampir di berbagai sektor. Dampak negatif bahkan juga dirasakan oleh para pencari kerja serta kelompok-kelompok masyarakat yang bergantung kehidupannya dari para pekerja dan pencari kerja tersebut. Ketidaksesuaian antara perencanaan kebijakan ketenagakerjaan dengan kondisi obyektif angkatan kerja, kondisi institusi-institusi pasar tenaga kerja, kebijakan makro perekonomian dan – yang lebih terpenting – menurunnya tanggung jawab negara terhadap perlindungan pekerja dan kesejahteraan warganya menjadi faktor-faktor kunci yang menyebabkan luasnya dampak negatif tersebut.
FLEKSIBILITAS PASAR KERJA: ASUMSI DAN REALITAS
Pembedahan secara kritis terhadap sistem pasar kerja fleksibel harus dimulai dari telaah terhadap asumsi-asumsi yang mendasarinya dan bentuk-bentuk kebijakan yang menjadi turunannya. Perbandingan antara asumsi-asumsi pemikiran tersebut dengan pola-pola kebijakan nyata tentang pasar kerja serta keadaan obyektif pasar kerja akan memberi gambaran yang lebih jelas mengenai permasalahan yang terjadi di seputar pasar kerja fleksibel.
Asumsi-asumsi Fleksibilitas Pasar Kerja
Pasar kerja fleksibel merupakan sebuah institusi dimana pengguna tenaga kerja (employer) dan pekerja serta pencari kerja bertemu pada suatu tingkat upah tertentu dimana kedua belah pihak memiliki keleluasaan dalam menentukan keputusan untuk bekerjasama tanpa hambatan sosial politik. Keleluasaan ini merupakan bentuk strategi adaptasi masing-masing terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya (Meulders & Wilkin, 1991; Ul Haque, 2002).
Menurut para pendukung gagasan pasar kerja fleksibel, prinsip-prinsip pasar kerja ini diasumsikan menghasilkan dua efek positif sekaligus. Pertama, persaingan yang terbuka dan bebas–intervensi non-ekonomi di dalam pasar yang fleksibel akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kedua, fleksibilisasi pasar kerja akan menghasilkan pemerataan kesempatan kerja yang pada gilirannya dapat menciptakan perbaikan tingkat pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Pasar diserahkan sepenuhnya kepada pelaku-pelaku ekonomi untuk melakukan pertukaran rasional (Rapley, 1997). Berbagai peraturan yang membatasi dan menghambat gerak para pelaku ekonomi tersebut ditiadakan.
Di dalam pasar tenaga kerja, interaksi yang bebas di antara pengguna tenaga kerja (employer) dengan tenaga kerja (pekerja atau pencari kerja) dipandang sebagai kondisi yang perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi. Pengguna tenaga kerja bebas mencari tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan rasional pengguna, sedangkan tenaga kerja bebas memilih pengguna tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan rasional tenaga kerja (Islam, 2001). Kebutuhan rasional pengguna ditentukan oleh jenis dan kapasitas produksi yang dibutuhkan sesuai dengan persaingan yang dihadapinya dalam pasar komoditas. Kebutuhan rasional tenaga kerja ditentukan oleh seberapa jauh pendapatan yang diberikan oleh pengguna tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Islam, 2001).
Di dalam sistem pasar kerja yang fleksibel, keleluasaan dan kebutuhan-kebutuhan tersebut diasumsikan dapat saling terpenuhi. Hal ini karena pemakai kerja mendapat kemudahan untuk merekrut dan memberhentikan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhannya. Hambatan regulasi dan campur tangan negara untuk merekrut dan melakukan PHK dikurangi atau bahkan ditiadakan. Biaya rekrutmen dan PHK diperkecil. Model hubungan kerja berdasarkan sistem kontrak dan outsourcing diterapkan dan diperluas cakupannya untuk memungkinkan fleksibilisasi tersebut. Jam kerja dan besaran upah difleksibilisasikan sesuai dengan siklus bisnis atau fluktuasi permintaan pasar akan barang atau jasa yang diproduksi. Fleksibilisasi seperti ini akan menciptakan efisiensi produksi dan maksimalisasi keuntungan modal.
Dari sisi tenaga kerja, pekerja didorong untuk tidak terikat pada satu pemberi kerja (employer) dalam jangka waktu lama, melainkan dapat berpindah-pindah pekerjaan dengan pilihan tingkat pendapatan yang lebih baik. Kemudahan berpindah kerja tersebut diasumsikan dapat membuka peluang kesempatan kerja yang lebih besar kepada lebih banyak pencari kerja karena pekerjaan akan menjadi selalu tersedia bagi para pencari kerja (World Bank, 2005, 2006). Konsep keamanan lapangan kerja (employment security) menjadi lebih utama dibanding keamanan kerja (job security).
Fleksibilitas pasar kerja juga dianggap mempunyai fungsi penting dalam memecahkan masalah dualisme pasar kerja. Fleksibilitas pasar kerja menjamin terbukanya peluang para pekerja di sektor informal untuk berpindah ke sektor formal yang lebih aman dan mensejahterakan (World Bank, 2005; World Bank 2006). Dengan semakin banyak orang bekerja di sektor formal, maka akan lebih banyak pekerja yang memperoleh jaminan perlindungan hukum formal, tunjangan kesehatan, pendidikan dan pensiun, dan peningkatan keterampilan. Keseimbangan gender pun dianggap menjadi lebih baik karena para perempuan yang dominan di ekonomi informal dapat berpindah ke sektor formal. Dengan demikian sektor informal yang dipandang rentan terhadap eksploitasi kerja serta memiliki tingkat produktifitas yang lebih rendah akan berkurang dominasinya dan berganti ke arah dominasi sektor formal yang lebih aman dan produktif.
Sementara itu dari sisi hubungan kerja, fleksibilitas pasar kerja dapat mengurangi dominasi serikat buruh yang dianggap terlalu mempertahankan kepentingan aristokrasi pekerja tetap dengan mengorbankan kesempatan kerja bagi penganggur (Douglas, 2000). Serikat buruh dengan kekuatan kolektifnya juga dianggap menghambat fleksibilitas modal dalam menghadapi fluktuasi tekanan pasar. Fleksibilitas biaya tenaga kerja dan fleksibilitas cara produksi yang diperlukan oleh modal untuk melakukan efisiensi biaya produksi sering tidak dapat dengan mudah dilakukan karena mendapat tekanan serikat buruh. Untuk itu peran serikat buruh sebagai basis kekuatan kolektif mulai dikurangi atau setidaknya didorong ke arah bentuk yang lebih korporatis. Selain itu melalui bentuk hubungan kerja kontrak dan outsourcing, sistem kolektivisme dalam hubungan industrial mulai digeser ke arah individualisme. Individualisasi juga dilakukan terhadap sistem pengupahan dan penyelesaian perselisihan. Individualisasi hubungan-hubungan kerja tersebut dianggap sebagai kunci penting untuk mendorong produktivitas dan mengurangi kontrol kolektif serikat buruh terhadap kepentingan-kepentingan produksi dan ekspansi modal.
Keseluruhan prinsip pasar kerja fleksibel tersebut diyakini mempunyai efek positif bagi kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan pemecahan masalah pengangguran serta kemiskinan. Prinsip-prinsip tersebut dipandang sangat sesuai dengan dominasi sistem perekonomi liberal yang berkembang meluas dewasa ini. Sebaliknya sistem pasar kerja yang kaku dipandang tidak dapat memberi peluang bagi pertumbuhan ekonomi dan pemecahan masalah pengangguran dan kemiskinan. Pasar kerja seperti ini dianggap cenderung tertutup khususnya bagi penganggur dan kelompok pekerja ekonomi informal untuk masuk ke sektor formal. Hal ini karena pekerja-tetap selalu mempunyai kecenderungan untuk berusaha mempertahankan keamanan dan keuntungan kerja (World Bank, 1995; Douglas, 2000). Di tingkat produksi, kekakuan sistem pasar kerja (labour market rigidity) juga dianggap tidak memacu produktivitas kerja karena tingkat kompetisi di antara pekerja cenderung rendah akibat rasa aman dalam pekerjaannya (World Bank, 2006). Pasar kerja yang kaku membuat biaya tenaga kerja menjadi tidak fleksibel karena jumlah dan jenis pekerja yang digunakan tidak dapat menyesuaikan fluktuasi tekanan persaingan dalam pasar komoditas.
Oleh para pendukungnya, pasar kerja yang kaku diyakini tidak sesuai lagi untuk kondisi perekonomian global yang semakin kompetitif dan liberal dewasa ini. Sebaliknya pasar kerja yang fleksibel adalah sistem pasar yang dianggap paling tepat bagi kelompok sosial manapun (World Bank, 2005). Namun di sisi lain sistem tersebut juga memerlukan serangkaian kondisi struktural penunjang. Pasar kerja fleksibel memerlukan dukungan sebuah kebijakan pasar kerja yang koheren dan terintegrasi dengan sistem hubungan industrial, strategi industrialisasi dan sistem jaminan sosial yang baik. Secara lebih spesifik struktur pasar kerja yang ditandai oleh suplai yang besar dari buruh terampil, aksesibilitas yang luas terhadap informasi mengenai pasar kerja dan penarikan sumber dana untuk jaminan sosial yang diredistribusikan secara merata menjadi faktor-faktor penting yang menentukan efektivitas pasar tersebut .
Untuk mendukung asumsi-asumsi positif ini negara juga didorong untuk menciptakan berbagai institusi yang menjamin bekerjanya pasar kerja fleksibel dengan optimal. Sejumlah instrumen regulasi yang dianggap terlalu ketat membatasi kebebasan dicabut atau diperlunak. Aturan-aturan yang terlampau protektif bagi pekerja dihilangkan. Negara juga didorong untuk melegalkan sistem kontrak kerja seluas mungkin untuk menjamin keleluasaan bergerak pekerja maupun modal. Sejalan dengan prinisip pasar bebas, pengurangan campur tangan negara bukan hanya dilakukan terhadap pengaturan pasar kerja tapi juga pada sistem perlindungan sosial.
Kebijakan-kebijakan Fleksibilitas Pasar Tenaga kerja
Di negara-negara industri maju sistem pasar kerja yang fleksibel telah menjadi arus utama strategi kebijakan ekonomi. Eropa yang telah lama menganut konsep welfare-state dengan perlindungan tenaga kerja yang kokoh mengubah secara signifikan sistem pasar kerjanya menjadi lebih fleksibel (Bamber & Lansbury, 1993; Foroohar & Emerson, 2004). Demikian pula Jepang yang lama menganut sistem long-life employment kini mengubah sistem tersebut ke arah pasar kerja yang lebih fleksibel yang mempekerjakan orang dengan jangka waktu yang lebih pendek (Weathers, 2001; Kuwahara, 1993). Bank Dunia dan IMF juga menjadikan prinsip ini sebagai resep pembangunan sosial ekonomi yang ditawarkan kepada negara-negara berkembang. Prinsip ini diletakkan dalam satu paket usulan kebijakan liberalisasi ekonomi serta pemecahan masalah kemiskinan dan pengangguran sekaligus. Index Level of labour Market Rigidity Iseperti hiring & firing cost) kerap digunakan sebagai indikator-indikator tingkat keterbukaan suatu negara terhadap investasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus indikator tingkat keterbukaan kesempatan kerja bagi kelompok penganggur dan besarnya peluang peralihan tenaga kerja dari sektor informal yang miskin ke sektor formal yang lebih mensejahterakan (World Bank, 2006; Bernabè & Krstić, 2005).
Di Indonesia, gagasan pasar kerja fleksibel disokong dengan kuat oleh pemerintah, pengusaha, dan kalangan ekonom neoklasik. Gagasan ini dipandang sebagai sebuah langkah strategis untuk memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Sistem pasar kerja yang ada selama ini dipandang terlalu kaku dan tidak membantu pemecahan masalah tingginya angka pengangguran yang kini telah mencapai 10,4% (BPS, 2006), tingginya angka kemiskinan (39 juta jiwa penduduk miskin), terlalu besarnya konsentrasi penduduk di sektor ekonomi informal, rendahnya pertumbuhan investasi (ADB, 2007), serta tingginya tingkat ketidakpastian iklim bisnis di Indonesia. Untuk itu beberapa langkah kebijakan diambil oleh pemerintah untuk melakukan restrukturisasi pasar kerja. Langkah-langkah tersebut adalah 1) perubahan kebijakan ketenagakerjaan yang diintegrasikan ke dalam satu paket kebijakan dengan rencana pertumbuhan investasi, seperti perpajakan, perijinan investasi, dan lain-lain; 2) mengintegrasikan perubahan kebijakan ketenagakerjaan dengan konteks pemecahan masalah kemiskinan dan pengangguran (Widianto, 2006).
Agenda terpenting dari perubahan kebijakan ketenagakerjaan tersebut adalah penciptaan pasar kerja yang lebih fleksibel. Kebijakan pasar kerja yang fleksibel yang telah tercermin di dalam UUK 13/2003 (terutama pada pasal 59-66) dipandang masih perlu lebih difleksibelkan. Apalagi jika dikaitkan dengan pasal-pasal yang mengatur PHK. Pasal-pasal ini dianggap masih terlalu kaku. Hingga saat ini proses perumusan kebijakan tersebut masih berlangsung. Pergulatan kepentingan antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha menjadi salah satu faktor penentunya. Pergulatan ini sekaligus menandai adanya permasalahan yang lebih dari sekedar politik kebijakan tetapi juga permasalahan nyata dari validitas dan reliabilitas kebijakan pasar kerja itu sendiri. Praktek fleksibilitas pasar kerja yang dihasilkan dari UU 13/2003 ternyata telah membuahkan cukup banyak dampak yang tidak menguntungkan pekerja bahkan kelompok miskin pencari kerja. Dari realitas dampak tersebut, ada dua pokok permasalahan yang perlu mendapat tinjauan lebih kritis. Pertama, permasalahan asumsi teoritis dari konsep pasar kerja fleksibel. Kedua, permasalahan operasional dari implementasi kebijakan yang melibatkan beragam faktor yang berpengaruh.

Kritik terhadap konsep fleksibilitas pasar kerja dan implikasinya kepada tenaga kerja di Indonesia.

Ada dua pertanyaan kritis dan mendasar yang penting untuk diajukan terhadap asumsi-asumsi dasar fleksibilitas. Pertama adalah pertanyaan yang berkaitan dengan pasar kerja dan yang kedua berkaitan dengan kualitas pekerjaan dan kualitas pembagian kesempatan pekerjaan yang terjadi di dalam pasar kerja fleksibel. Pertanyaannya adalah bagaimana karakter pasar kerja yang ada di pertimbangkan dalam perumusan dan penerapan kebijakan fleksibilitas dan seberapa jauh persoalan kualitas kesempatan kerja diperhatikan dalam kebijakan yang sama. Kedua pertanyaan ini menjadi sangat esensial karena karakter pasar kerja sangat mempengaruhi kondisi kerja yang muncul akibat fleksibilitas yang diterapkannya dan karena pembagian kesempatan kerja tidak serta merta menghasilkan perbaikan kondisi kemiskinan. Pertanyaan yang berkaitan dengan pasar kerja akan membantu memeriksa mengapa kebijakan pasar kerja yang fleksibel membawa dampak negatif bagi pekerja. Pertanyaan mengenai kualitas pembagian kesempatan kerja menjadi dasar pemikiran penting untuk melihat apakah kondisi bekerja menjadi berbeda secara signifikan dari kondisi menganggur atau kondisi bekerja di sektor informal.

Kedua pertanyaan tersebut memunculkan tiga kritik utama terhadap asumsi-asumsi positif dari sistem pasar kerjafleksibel.

Kritik-1 : Menguatnya dualisme pasar kerja
Fleksibilisasi pasar kerja secara optimis dipandang sebagai sebuah jalan keluar untuk mengatasi kemandegan ekonomi yang diakibatkan oleh pasar kerja yang dualistik (World Bank, 2006; Bernabè & Krstić, 2005). Fleksibilisasi dianggap dapat mengalihkan tenaga kerja di sektor ekonomi yang informal atau tradisional ke sektor formal dan modern. Namun demikian dalam kasus Indonesia ada aspek yang tidak mendapat perhatian kritis dari para pendukung gagasan ini yakni karakter dasar dari pasar tenaga kerja.

Berbagai diskusi mengenai kebijakan pasar kerja fleksibel di Indonesia tidak menyentuh secara mendalam aspek karakter pasar kerja maupun karakter kebijakan negara tentang pasar kerja (Islam 2000; World Bank 2004, SMERU 2003). Diskusi-diskusi tersebut hanya menyinggung mengenai dualisme pasar kerja antara formal dan informal, terampil dan tidak terampil tanpa mempersoalkan dualisme tersebut sebagai akar persoalan distorsi fleksibilitas pasar kerja. Pengalaman berbagai negara Eropa menunjukkan karakter pasar kerja dan kebijakan pasar kerja aktif menjadi syarat wajib yang melekat untuk kebijakan pasar kerja fleksibel yang adil dan melindungi pekerja. Oleh karena itu berbagai studi mengenai fleksibilitas di Eropa tidak pernah membahas keduanya karena sudah dianggap sebagai prasyarat yang sudah dengan sendirinya ada (Wallace 2003, Dore 2003, Monastiriotis 2003, Coats 2006).

Masalah muncul ketika syarat wajib itu dianggap sudah dimiliki oleh Indonesia. Kebijakan LMF diadopsi secara sempurna dari sisi mekanismenya tanpa memperhatikan ciri pasar tenaga kerjanya. Pasar kerja di Indonesia selain ditandai oleh ciri-ciri yang dualistik yakni sektor formal yang modern dan sektor informal yang tradisional juga didominasi oleh tenaga kerja tidak terampil di kedua sektor tersebut. Karakter dualistis pasar kerja di Indonesia dan over supply tenaga tidak terampil menyebabkan logika kebebasan untuk berpindah dari sektor informal ke sektor formal serta kebebasan bertransaksi yang setara antara tenaga kerja dan pengguna kerja menjadi tidak berlaku. Kondisi obyektif 95% tenaga kerja Indonesia kurang terampil dan 60% hanya berpendidikan SD menunjukkan dengan sendirinya kecilnya peluang atau ketidakmungkinan pekerja untuk dapat secara fleksibel berpindah dari satu pabrik ke pabrik lain, atau industri lain, atau sektor lain, atau daerah lain. Hal ini berarti, pekerja telah secara melekat tidak memiliki peluang yang sama dengan pengusaha untuk secara bebas melakukan pilihan (Tjandraningsih 2004). Bahkan di antara sesama kategori pekerja, peluang pilihan-bebas pun sebenarnya tersebut tidak sama. Pekerta tidak terampil mempunyai pilihan jauh lebih terbatas dibanding pekerja terampil. Apabila mengikuti logika definisi fleksibilitas pasar kerja, indikator tersebut tidak memungkinkan pasar kerja dapat beroperasi secara lancar sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya majikan lebih terbuka untuk memilih tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. Perangkat hukum yang dibangun oleh Negara untuk menjamin fleksibilisasi memberikan kemudahan lebih besar bagi perusahaan untuk merekrut dan mengurangi pekerja setiap saat. Dengan demikian kebijakan ini menggandakan posisi tawar perusahaan.

Di tingkat perusahaan juga terjadi dualisme pasar kerja berdasarkan keterampilan dan status hubungan kerja. Pekerja terampil biasanya adalah pekerja tetap dengan upah baik dan pekerja tidak terampil berstatus tidak tetap dengan upah rendah. Hal ini sudah terjadi di negara-negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan fleksibilitas. Pengalaman di Eropa maupun AS menunjukkan dalam derajat tertentu fleksibilitas hanya dimiliki oleh buruh yang memegang posisi manajerial dan professional-buruh terampil yang berpendidikan tinggi (Wallace 2003). Pengalaman Jepang mengatakan bahwa fleksibilitas memang menguntungkan buruh terampil dan pada saat yang sama menimbulkan tekanan untuk menurunkan upah dan tunjangan untuk buruh kurang atau tidak terampil. (Weathers 2001). Kondisi di Indonesia tidak berbeda. Penempatan buruh terampil di lapis pusat struktur tenaga kerja dengan status hubungan kerja tetap lengkap dengan berbagai fasilitas kerja dan tunjangan yang sangat memadai di beberapa perusahaan merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan apa yang juga terjadi di Jepang. Dualisme pasar kerja internal ini terus dipertahankan oleh perusahaan sambil melakukan proses pengurangan tenaga terampil dan tetap.

Hak pekerja tidak tetap (kontrak maupun outsourcing) yang terbatas hanya pada upah pokok sebesar atau di bawah upah minimum serta ketentuan kontraknya yang tidak menentu dan tidak sesuai dengan peraturan menunjukkan bahwa perpindahan ke sektor formal sama sekali tidak menjamin peroleh jaminan sosial dan perlindungan kerja dibanding dengan sektor informal sebagaimana yang diasumsikan. Formalisasi pekerjaan tidak terjadi karena kategori pekerja yang fleksibel (kontrak dan outsourcing) umumnya tidak menikmati keistimewaan kerja sebagaimana dimiliki oleh pekerja tetap. Perpindahan ke sektor formal juga tidak membuat posisi hukum dari pekerja yang pindah dari sektor informal menjadi lebih baik karena ketidakberdayaan pekerja untuk memanfaatkan institusi hukum di dalam berhadapan dengan pengusaha, sistem hukum peradilan yang kurang menguntungkan bagi pekerja, dan terlepasnya pekerja dari sistem perlindungan kolektif yang berasal dari serikat buruh.
.
Di sisi kebijakan pasar kerja, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu tenaga kerja sudah diidentifikasi dengan baik (Widianto 2003, 2005) dan sangat disadari merupakan salah satu langkah untuk menarik investor (World Bank 2004). Akan tetapi juga disadari bahwa sebagai langkah struktural untuk mereformasi pasar kerja kebijakan pasar kerja aktif merupakan sebuah investasi jangka panjang yang tidak terlalu menarik dan tidak dianggap penting. Pilihan lebih diambil untuk melakukan langkah-langkah praktis sebagaimana didesakkan oleh Bank Dunia yang hanya terkait dengan kebijakan yang berkait dengan hubungan kerja dan kesejahteraan sosial jangka pendek (2004). Pragmatisme kebijakan yang diambil juga tercermin dari dilakukannya berbagai bentuk kebijakan pasar kerja pasif melalui pemberian BLT atau pembagian sembako, kartu miskin untuk akses pelayanan kesehatan, bantuan uang sekolah. Ketika fleksibilitas tidak dapat dihindari, perangkat kebijakan yang praktis-pragmatis tidak akan banyak membantu mengurangi dampak negative fleksibilitas pasar tenaga kerja. Sebagaimana yang menjadi rumus di Negara-negara Eropa, seperangkat kebijakan yang menggabungkan jenis fleksibilitas, peraturan perlindungan kerja, system tunjangan dan investasi signifikan untuk kebijakan pasar kerja aktif (ALMP) merupakan syarat untuk mendapatkan keluaran yang baik untuk LMF (Coats 2006).

Kritik - 2 : Peningkatan ketidakpastian kerja, penurunan tingkat kesejahteraan dan degradasi kondisi kerja

Hal yang tidak atau kurang diperhatikan oleh proponen fleksibilitas di Indonesia adalah kenyataan terjadinya degradasi kesejahteraan dan kondisi kerja para pekerja. Sementara itu degradasi ini adalah konsekuensi logis dari fleksibilitas pasar kerja. Dore merumuskan fleksibilitas sebagai sebuah cara untuk menghilangkan ‘social evil of unemployment’ melalui penciptaan kesempatan kerja yang ‘atypical’ (pekerja tidak tetap, kontrak pendek, paruh waktu, ‘agency despatched’) yang mengandung biaya tenaga kerja rendah sehingga memudahkan perusahaan dalam merekrut tenaga kerja baru. Kemudahan ini membuat kesempatan kerja menjadi lebih mudah tersedia. Di dalam pasar kerja yang dualistik dan ditandai oleh tingkat pengangguran yang tinggi ketersediaan pekerjaan ini menjadi sangat penting artinya bagi pekerja dan pencari kerja. Oleh karenanya pekerjaan-pekerjaan yang berupah rendah dan tidak memberi jaminan kerja apapun masih dianggap tersebut lebih baik daripada mereka menganggur (Dore, 2003:31).
Keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan kesempatan kerja dalam pasar kerja dualistik yang fleksibel cenderung berbanding terbalik dengan penurunan mutu kesempatan kerja. Pekerja tidak terampil memang menjadi relatif lebih mudah mendapat pekerjaan tetapi ketidakpastian kerjanya semakin meningkat, kesejahteraannya semakin turun dan kondisi kerjanya semakin terdegradasi. Pekerja tidak terampil begitu mudah untuk direkrut dan dikeluarkan tanpa perlindungan kerja. Pekerja tidak terampil semakin mudah untuk difleksibelkan kondisi kerjanya maupun status kerjanya menjadi pekerja tidak tetap. .
Sumber : Hari Nugroho dan Indrasari Tjandraningsih

1 komentar: